Pemilihan presiden periode 2014
ini menjadi sangat menarik, melihat berbagai kontroversi yang muncul, mulai
dari kelas masyarakat pendukung dan relawan, timses masing-masing capres,
Parpol, media pendukung, politisi, bahkan sampai ke media sosial. Kecenderungan
untuk saling senggol akibat pen”dewa”an Calon masing-masing telah membawa warna
tersendiri dalam percaturan politik di
Indonesia.
Klaim keagamaan sampai klaim idealisme tidak urung menjadi senjata
dari kedua belah pihak untuk mengawal calon mereka, kampanye negatif dan
kampanye hitam menjadi sarapan pagi yang menjemukan, baik itu melalui kontak
langsung timses maupun melalui media-media ( baik elektronik maupun media sosial).
Isu komunisme, NAZI, Cukong Cina, Dewan Jenderal, Neo-Liberalisme, sampai pada
tataran pemalsuan latarbelakang, serta Pemerkosaan simbol-simbol yang digunakan
kedua pihak, menjadi santapan yang tiap hari kita kunyah.
Garuda tak lagi sakral untuk
membawa Indonesia terbang, yang kanan tak lagi identik dengan kebenaran karna
telah terklaim. Politik pencitraan dan Nasionalisme menjadi tameng yang sangat
kuat dalam menggaet hati rakyat, bahkan ranah kesusasteraan tidak luput menjadi
lahan kampanye seperti yang dilakukan oleh Fadli Zon melalui puisinya dan
bersambut dari Fachmi dengan puisi balasan. Selain dari kedua kubu, juga muncul
barisan Golongan Putih yang memilih untuk tidak memilih dengan alas an yang
beragam, mulai dari ketidak percayaan terhadap para Calon, sampai dengan sikap
apatis terhadap politik negeri ini.
Miris, pesta rakyat yang
seharusnya di maknai sebagai ajang pemersatu bangsa justru semakin memecah
persatuan, apakah penafsiran terhadap demokrasi yang menjadi kabur, ataukah
masyarakat kita yang masih buta bahkan cenderung dibutakan oleh peran media
yang semakin tidak independen dengan ter”kuasai”nya media oleh korporasi besar
yang mendukung masing-masing calon.
Siapa yang mesti dipersalahkan
atas kondisi ini?
Akan muncul berbagai jawaban
dengan perspektif yang berbeda-beda, dengan klaim kebenaran yang
melatarbelakangi pemahaman mereka akan kondisi ini, meski tak jarang akan
memunculkan debat kusir yang tak berpangkal maupun berujung. Terlepas dari
kondisi diatas, kiranya siapapun yang menjadi pemenang dalam pertarungan ini
menjadi Ksatria yang memenuhi Janji-janjinya, dan yang kalah menjadi legowo dan
tetap membantu pembangunan Indonesia tanpa perlu merasa kalah, karna pada
dasarnya mereka dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
(Source Gambar : Pemilu.com)
0 komentar:
Posting Komentar